Jumat, 03 Juni 2011

Kontradiksi Tripartit dan UU Ketenagakerjaan



Pada masa Orde Baru upah layak dan murah menjadi primadona untuk menarik pengusaha asing. Buruh dari Indonesia dikirim menjadi Tenaga Kerja Indonesia di luar negri dan nasibnya terlunta-lunta di negri orang. Kini kita mendengar slogan "rumah investasi" yang artinya adalah perusahaan yang menerapkan sistem kontrak dan outsourcing.

Ujung-ujungnya membebaskan pengusaha dari keharusan membayar upah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam kerangka kapitalisme, dasar penetapan upah tetap merupakan proses jual-beli antara buruh dan pengusaha. Maka tingkat upah harus sesuai dengan biaya yang dibutuhkan untuk melestarikan kemampuan kerja buruh yang sehat secara fisik dan mental di pabrik. Komponen utama kebutuhan kaum buruh yaitu kebutuhan fisik seperti kecukupan gizi untuk tubuh dan otak, termasuk menjaga kesehatan dan lingkungan antara lain dengan mandi; berpakaian layak dan sehat; berolah raga, agar buruh dapat bekerja dengan segenap tenaga dan sanggup berkonsentrasi penuh selama bekerja.

Tetapi agar seseorang itu sehat dalam proses kerja dibutuhkan biaya untuk menciptakan kesempatan beristirahat dan memulihkan (restorasi) tenaga yang telah digunakan dalam proses produksi. Biaya tempat tinggal (termasuk listrik dan air), rekreasi, dan biaya yang dibutuhkan untuk menghadirkan buruh secara fisik di pabrik (biaya transportasi), masuk ke dalam komponen kebutuhan fisik ini.Sedangkan kebutuhan mental berkaitan dengan masalah bagaimana buruh menjaga martabat dirinya di tengah pergaulan sosial. Buruh juga harus terus meningkatkan pengetahuannya agar tidak menjadi bahan olok-olok sosial, seperti gagap teknologi. Ia harus berpeluang membaca, mendengar, dan menonton berita, mendapatkan buku-buku yang dapat menuntunnya lebih memahami dunia. Seorang buruh sebagai manusia juga membutuhkan komunikasi yang perlu dialokasikan dengan wajar untuk komunikasi jarak jauh dalam komponen upah.

Ada juga kebutuhan yang mencakup kebutuhan fisik dan mental, yaitu kebutuhan berkeluarga. Setiap orang butuh mendapatkan pasangan hidup dan mendapat keturunan. Kebutuhan ini bersesuaian dengan tuntutan sosial dan spiritual yang berlaku dalam masyarakat. Oleh sebab itu, perhitungan atas upah jangan hanya berdasarkan kebutuhan orang lajang saja, tetapi harus memperhitungkan kebutuhan buruh yang akan atau sudah berkeluarga. Bagi seorang buruh yang sudah berkeluarga, istri dan anaknya juga harus dihitung dalam menentukan upah.

Upah layak harus berlaku secara nasional, dengan memberi peluang bagi perbedaan pemberian tunjangan sesuai dengan kondisi yang berlaku berbeda-beda di tiap lokasi. Konsekuensi dari upah layak yang berlaku nasional memberi insentif bagi pemerintah daerah untuk membangun infrastruktur fisik bagi industri dan mencoba berkompetisi dengan menghilangkan sebisa mungkin ekonomi biaya tinggi yang dipicu korupsi, pungutan liar, birokrasi berbelit, dan lain-lain.

Rumusan seperti upah layak nasional itulah yang bisa diuji sebagai agenda rakyat dan bukannya ekonomi yang bertumpu pada agenda neoliberal. Perdebatan soal rumusan kebijakan ekonomi berbasis upah layak nasional harus dihidupkan untuk memberi ruang rakyat berperan merumuskan kebijakan ekonomi yang adil dan menguatkan bangsa. (Ma'ruf : 2007).

Nilai Upah Minimum
Beberapa ahli ekonomi berpendapat, pada tahun 2003 dana untuk investasi spekulatif dalam sehari mencapai US $ 1,2 triliun. Bila dibandingkan dengan misalnya jumlah investasi pada sektor riil (produktif) di seluruh dunia yang pada tahun 2003 tidak mencapai US $ 1 triliun dalam setahun. Sehingga investasi tidak masuk disebabkan para investor lebih tertarik dalam perdagangan spekulatif berbentuk perdagangan saham dan mata uang, daripada menginvestasikan modalnya di sektor riil seperti pembangunan suatu industri, membangun pabrik, atau investasi riil lainnya.
Fakta menunjukkan sampai sekarang investasi masih berpusat di negara-negara dunia pertama seperti ditunjukkan laporan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNCTAD, World Investment Report 2003, menunjukkan lebih dari 71% investasi berada di negara-negara maju, 91% modal yang berasal dari negara-negara maju ditanamkan di antara sesama negara-negara maju. Hanya kurang dari 9% modal dari negara-negara maju yang bergerak ke negara-negara berkembang dan negara-negara dunia ketiga.

Di Indonesia, pada akhir tahun 2006 kaum buruh menuntut kenaikan upah minimum kota/propinsi dan memprotes Surat Keputusan Gubernur tentang pengupahan yang tidak adil bagi kaum buruh. Nilai kenaikan upah untuk kaum buruh sangat tidak mencukupi kebutuhan hidup. Sangat mencolok jika dibandingkan dengan tren kenaikan gaji dan tunjangan untuk birokrasi pemerintah, pejabat Negara baik eksekutif maupun legislatif, yang sangat besar. Hal ini menggambarkan buruh diperlakukan sebagai rakyat kelas bawah yang tuntutannya tidak perlu dipenuhi. Jika diteliti dengan seksama ternyata tidak hanya dalam masalah pengupahan, kita juga melihat diskriminasi keberpihakan kebijakan ekonomi dan politik negara hampir selalu merugikan buruh dan rakyat pekerja lainnya seperti petani, nelayan, miskin kota.Upah buruh di Indonesia masih tergolong rendah, tetapi investasi tetap tidak masuk. Jika dibandingkan dengan negara-negara yang saat ini menjadi saingan Indonesia dalam menggaet investor, yaitu Malaysia (17%), China (30%), dan Vietnam (20%). Cukup jelas bahwa larinya dan tidak masuknya investasi ke Indonesia bukan karena kaum buruh.
Upah buruh rendah hanya 6% - 7% dari biaya produksi. Justru yang memberatkan dunia usaha adalah "biaya-biaya siluman" yang mencapai 10% dari biaya produksi. Perusahaan Sony yang memindahkan produksinya dari Indonesia ke Vietnam juga mengatakan kepindahannya bukan disebabkan upah buruh, melainkan biaya ekonomi yang tinggi di luar upah buruh. (Machfoedz : 2006).

Masalah pokoknya yaitu adanya biaya, ketidakstabilan makroekonomi, ketidakpastian kebijakan, korupsi pemerintah lokal dan pusat, pajak, biaya tinggi, dan tidak adanya kepastian hukum. Bila kita mencermati kebijakan pembangunan ekonomi, justru kebijakan upah layak yang tak dikembangkan, yaitu upah yang menjadikan kaum buruh sebagai manusia Indonesia sesungguhnya bukan sebagai alat kerja. Keyakinan yang hanya memandang faktor investasi adalah akibat paradigma yang memandang industri Indonesia hanya berkembang lewat gerak investor asing.Pengurangan angka pengangguran yang diklaim pemerintah, akibat besaran investasi pada kondisi saat ini sebenarnya tidak akan membuat ekonomi nasional maupun kehidupan rakyat menjadi lebih baik karena didapat dengan menggadaikan standar kesejahteraan yang harusnya didapatkan lewat proses bekerja.

Mengembangkan kebijakan ekonomi dan industri yang berbasis pada upah layak bias menguatkan daya beli masyarakat sehingga akan menggerakkan perekonomian nasional dan memberi arah penguatan yang jelas terhadap pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Opsi upah buruh layak ini tidak pernah dilirik dan perlu diteliti konsepsinya.

Pemerintah telah menunjuk lima universitas, yaitu Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Gajah Mada, Universitas Sumatra Utara, dan Universitas Hasanuddin untuk mengkaji implementasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dengan harapan hasil kajian dan penelitian dapat digunakan forum tripartit (pemerintah, pengusaha, buruh) untuk kepentingan revisi undang-undang ketenagakerjaan. Pembicaraan tripartit harus melibatkan pula kepala-kepala daerah dan merumuskan sesuatu yang baik implementasinya di seluruh Indonesia. Sehingga nantinya bisa menata lebih baik sistem kebijakan dan undang-undang yang telah ada. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah tidak akan mengajukan draft revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang ada saat ini ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Ada tiga pilar yang akan menjadi roh/substansi dari sistem kebijakan dan undang-undang ketenagakerjaan yang akan dikembangkan ke depan, yaitu :

1). Perlindungan kepada tenaga kerja yang menyangkut sistem penggajian, keselamatan, jaminan yang diperlukan, perlakuan saat sakit, cara menyampaikan pendapat, dan lain-lain.
2). Pertumbuhan perusahaan dengan baik.
3). Pertumbuhan ekonomi. (Prabandari : 2006).Sementara, di masyarakat luas terbentuk persepsi yang tidak tepat bahwa revisi hanya akan menindas tenaga kerja, memenangkan pengusaha, dan mementingkan investasi. Tetapi tidak mungkin negara, pemerintah, atau kepala negara membuat undang-undang untuk menyengsarakan tenaga kerja. Bukan hanya faktor tenaga kerja kalau kita ingin mengembangkan iklim investasi, ada sejumlah faktor, di antaranya faktor tenaga kerja.

Konsep tambahan akan ada yang diintegrasikan dalam revisi undang-undang ketenagakerjaan, misalnya konsep kompensasi dan asuransi yang dilakukan Jamsostek. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan akan berusaha meletakkan apa yang telah ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dalam konteks yang lebih luas. Dan ingin bersama-sama merumuskan apa yang nanti dilakukan negara, pemerintah, dan Jamsostek, satu badan usaha milik negara yang berperan dan bertugas menangani jaminan sosial tenaga kerja.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta kepada berbagai kalangan agar tidak semata membandingkan undang-undang tenaga kerja dan sistem ketenagakerjaan Indonesia dengan undang-undang tenaga kerja dan sistem ketenagakerjaan di negara maju seperti Amerika Serikat, negara-negara maju di Eropa Barat, dan Jepang. Karena situasi dan tingkat ekonomi Indonesia sangat berbeda. Tetapi tidak salah jika Indonesia mengambil pelajaran dari undang-undang tenaga kerja di negara berkembang seperti Vietnam, India, dan China, yang relatif memiliki kondisi dan permasalahan yang hampir mirip.

Pernyataan Sikap Serikat Pekerja Nasional (SPN) 1 Mei 2010
Pada tanggal 1 Mei 2010 Serikat Pekerja Nasional menyerukan agar kaum buruh melawan neoliberal. Pada hari yang populer disebut "May Day" seharusnya tidak dilewatkan begitu saja tanpa arti positif untuk fondasi perubahan nasib pekerja/buruh Indonesia.

Pemerintah telah berjanji untuk meningkatkan perlindungan hak dan kepentingan pekerja, tetapi mengeluarkan Undang-Undang Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2003 yang menggambarkan semakin tidak jelasnya perlindungan bagi pekerja Indonesia. Lebih tragis lagi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang memposisikan nasib buruh sebagai bentuk perkara perdata umum yang dengan nyata menggambarkan bentuk lepas tangan pemerintah terhadap nasib pekerja/buruh.

Pemerintah pun menjanjikan tingkat kehidupan pekerja Indonesia akan lebih sejahtera, tetapi menetapkan upah pekerja dengan standar minimum, menciptakan lapangan kerja namun kontrak dan outsourcing tanpa jaminan sosial dan masa depan yang baik. Ada sedikit harapan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diharapkan dapat melindungi kaum pekerja/buruh dan keluarganya. Tetapi sampai saat ini hanya angan-angan belaka karena perangkat undang-undang yang dibutuhkan untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tersebut belum terwujud, bahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992, sebagai undang-undang pendukung dalam kurun waktu empat tahun sekarang hanya sebatas wacana di Dewan Perwakilan Rakyat untuk disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004. Melalui aksi May Day tanggal 1 Mei 2010 lalu Serikat Pekerja Nasional menyatakan sikap sebagai berikut : 1). Jadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional.2). Laksanakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. 3). Revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.4). Hapus sistem kerja kontrak dan outsourcing. 5). Tegakkan supremasi hukum di bidang ketenagakerjaan.

Catatan Penting May Day 2011
Pada Hari Buruh Internasional, Minggu 1 Mei 2011, di hadapan ratusan karyawan PT Tirta Investama di Cileungsi, Bogor, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar perusahaan tidak mudah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Tetapi untuk pengusaha,hingga saat ini, PHK masih menjadi salah satu jalan efektif untuk menekan kerugian. Mereka menilai, pemerintah tidak mendukung pertumbuhan industri.

Di tempat lain, puluhan ribu buruh mengepung Istana Merdeka, Gedung MPR/DPR, dan Gedung Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi untuk memperingati May Day. Massa berdatangan dari berbagai kawasan industri di wilayah Jabodetabek. Selain menuntut penghapusan sistem outsourcing (alih daya), mereka juga menuntut agar pemerintah melaksanakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Di sana hadir beberapa tokoh nasional, di antaranya mantan Mentri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli, beberapa orang anggota komisi IX DPR dari fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka, Anshari Siregar, dan Ribka Tjiptaning Proletariati. Dalam orasinya Rizal Ramli menuturkan, ada tiga hal yang harus diperjuangkan buruh, yaitu penciptaan lapangan kerja, penghapusan sisitem alih daya, dan pelaksanaan jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Jika ketiga hal tersebut tidak dipenuhi, Rizal mengajak kaum buruh untuk melengserkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tidak benar pemerintah tidak punya uang, buktinya bisa nalang Bank Century 6,7 triliun rupiah, memberi uang perjalanan dinas pejabat 19,5 triliun rupiah per tahun. Sementara untuk membangun sistem jaminan sosial, modalnya hanya 10 triliun rupiah. Tinggal menunggu pemerintah menjalankan political willnya.Pada peringatan May Day tahun lalu dan beberapa tahun sebelumnya, isu Sistem Jaminan Sosial Nasional selalu diangkat, terlalu penting bila dibiarkan tidak dilaksanakan oleh pemerintah. Kalangan pekerja menilai, desakan kepada pemerintah agar segera melaksanakan amanat Undang-Undanng Nomor 40 Tahun 2004 perlu terus dilakukan. Sampai sekarang belum ada itikad baik pemerintah untuk mengimplementasikan undang-undang tersebut meski telah disahkan beberapa tahun lalu.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat, Dedy Wijaya, menanggapi pernyataan presiden, bahwa bagi pengusaha pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan jalan terakhir. PHK, tidak terlepas dari liberalisasi perdagangan yang terlanjur dibuka oleh pemerintah. Ketika ASEAN - China Free Trade Area (ACFTA) ditandatangani, seharusnya hal itu sah menjadi pertimbangan pemerintah.

Pemerintah tidak fair jika ikut campur ketika industri melakukan rasionalisasi. Karena kerugian merupakan masalah pengusaha. Untuk menekan makin dalamnya kerugian, PHK menjadi salah satu jalan. Iklim investasi di Indonesia juga tidak kondusif hingga sekarang. Hal itu tampak dari aspek ketidakpastian hukum (sering berubah-ubah), dan terbitnya peraturan daerah-peraturan daerah yang tidak mendukung kinerja industri. Sementara pemerintah pusat tidak mengendalikan peraturan daerah-peraturan daerah itu setelah berjalannya otonomi daerah. Kondisi semakin parah setelah pemerintah gagal menyediakan infrastruktur, mulai dari listrik, jalan, dan infrastruktur lain yang seharusnya menjadi pekerjaan pemerintah untuk mendukung industri lokal. Bahkan sekadar memberantas pungutan liar sepertinya berat.Setelah berjalannya ACFTA, beberapa sektor industri meningkat, seperti sektor garment dan sepatu di Sukabumi, Subang, dan Purwakarta, membutuhkan cukup banyak tenaga kerja. Tetapi di sektor lain PHK masih menjadi ancaman.

Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Profesor Ina Primiana berpendapat sama,ia menilai gejolak deindustrialisasi yang mencuat dalam perekonomian nasional Indonesia sejak beberapa tahun lalu, kini sesungguhnya telah mendekati perwujudan ke arah yang lebih konkret.

Sejak tahun 2000, beberapa industri nasional terus menurun. Mulai tahun 2006, hampir semua sektor pertumbuhannya negatif kemudian diperparah dengan adanya ACFTA pada tahun 2010. Untuk mempertahankan industri, pemerintah tidak memiliki jalan lain, kecuali membuat regulasi yang berpihak kepada industri. Berbagai hambatan atau keterbatasan pada rantai pasokan yang menciptakan ekonomi biaya tinggi, harus dipangkas.

Ketua Serikat Pekerja Nasional Jawa Barat, Iwan Kusmawan, pada hari Minggu 1 Mei 2011, memaparkan, undang-undang tentang sistem jaminan sosial nasional (SJSN) merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 ayat (3) bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat.

Di samping itu, pasal 34 ayat (2) mengamanatkan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah dan tak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Undang-undang tersebut sangat penting karena ada pengaturan jaminan sosial, ada bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya dengan layak. Aneh jika undang-undang tersebut dengan bersusah payah telah dibuat dan disahkan tetapi tidak dilaksanakan? Isu lain dari peringatan Hari Buruh Internasional 2011 di antaranya perwakilan kaum buruh meminta Mahkamah Agung untuk merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Undang-Undang tersebut dinilai tidak bisa lagi memenuhi tuntutan perubahan. Belakangan, dengan berbagai dinamika usaha, jumlah perselisihan industrial semakin banyak. Masalahnya pun semakin kompleks. Untuk itu diperlukan mekanisme penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat, adil dan murah.

Yang selama ini terjadi, penyelesaian Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial lama, mahal, dan tidak adil. Kondisi ini diperburuk dengan mekanisme perekrutan hakim ad hoc di Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial tidak ada dari unsur pekerja atau buruh. Begitu masa jabatannya habis langsung diangkat lagi oleh Mahkamah Agung tanpa berkoordinasi terlebih dulu dengan serikat pekerja/ buruh yang mengusulkan mereka.

Kemudian masalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi diminta mengusulkan revisi sehingga pelayanan kesehatan bisa melingkupi semua penyakit. Pekerja juga menolak usulan revisi sebagian pihak terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang dinilai akan berdampak buruk terhadap kondisi ketenagakerjaan. Beberapa usulan itu di antara adanya penurunan nilai pesangon, pelegalan sistem alih daya, dan pelegalan sistem kerja kontrak tanpa adanya batasan waktu. (Wahyu Barata)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar